Wednesday, July 13, 2016

Fitoremediasi, Sebuah Pendekatan Restorasi Berkelanjutan

Oleh Prof. Dr. Ir. Wahyu Prizuardi, MCE, MSE

–BERBAGAI pendekatan telah dilakukan–termasuk yang cukup menarik–restorasi lahan gambut berbasis pendekatan budaya seperti yang telah di-highlightsebelumnya. Selain dari berbagai metoda restorasi, baik dimulai dengan rewetting sampai dengan penerapan penanaman, bagi saya, diperlukan pula penerapan fitoremediasi.
Menelisik usulan tanaman bambu sebagai salah satu tanaman restorasi yang diusulkan Dr. Yenrizal dalam artikelnya “Bambu Lebih Cepat Merestorasi Lahan Gambut” di media ini beberapa waktu lalu, menarik untuk dikembangkan atau disesuaikan dengan kondisi lahan gambut yang sangat bervariasi tersebut. Dan itu pun dapat dijadikan sebagai mediasi untuk pemulihan ekosistem dan lingkungan selain juga menaikkan kembali pamor bambu yang memang sangat berjasa tersebut.
Apa itu fitoremediasi?  Fitoremediasi dikenal salah satu metoda yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan efek akibat limbah logam berat yang dihasilkan dari penambangan dengan cara menanam dengan tanaman yang cocok untuk lingkungan yang “beracun” dalam arti kata tanaman penyerap atau pelahap racun.
Metoda fitoremediasi ini telah diterapkan paling tidak oleh perusahaan pertambangan karena area penambangan sangat rentan dengan pencemaran. Banyak tanaman dan media preparasi yang diaplikasikan dengan berbagai metoda dan jenis atau varietas tanaman yang beragam tergantung pada kondisi tanah, lokasi dan lingkungan sekitar.
Lahan gambut yang dikelola secara baik oleh perusahaan untuk skala besar dan menengah ataupun yang dikelola oleh masyarakat untuk skala kecil, atau juga yang terbakar berulang kali akan memberikan dampak pada tanah diakibatkan penggalian pembuatan drainase atau parit yang menimbulkan tanah tersebut terpapar sinar matahari sehingga menimbulkan oksidasi dan beracun akibat FeS2, yang membuat tanaman tersebut mati.
Untuk itu perlu adanya metoda yang dapat mengembalikan kondisi tanah yang telah tercemari oleh pirit ini dengan metoda pemulihan via fitoremediasi termasuk dengan bak bak penampungan. Hal ini akan sejalan dengan tujuan dari restorasi lahan gambut yang berkelanjutan.
Menurut pandangan saya, dengan memanfaatkan metoda fitoremediasi ini, dapat pula berkembang menjadi suatu metoda yang tidak hanya dikhususkan untuk menanggulangi pencemaran (yang tentunya sangat penting) tetapi dapat dilebarkan menjadi salah satu penopang restorasi lahan gambut yang berkelanjutan, dengan cara menanam tanaman dan media tanaman yang mengembalikan kondisi dari post rawa ke kondisi awal yaitu pengembalian ekosistem di area yang tercemar atau di area yang terdegradasikan, dan seterusnya.
Fitoremediasi dapat  diterapkan dalam rangka untuk membuat tanah kembali menjadi lembab atau basah dan mempertahankannya secara alami sesuai dengan tujuan restorasi agar terhindar terjadinya kebakaran hutan. Untuk itu pemahaman yang komprehensif akan “isi”nya alam sangat diperlukan dikombinasikan dengan kearifan lokal.
Secara garis besarnya. Pertama tentu yang dilakukan adalah dengan memilih lokasi calon penerapan fitoremediasi. Mendata karakteristik tanah, cuaca, lingkungan dan pemetaan berbasis GIS, kemudian mendata varietas tanaman yang tumbuh di lokasi dan sekitar lokasi dan data sekunder lain yang diperlukan.
Dalam skala kecil ataupun laboratorium, tanaman yang akan diterapkan didata berdasarkan tanaman lokal apa yang cocok untuk area tersebut, sesuai dengan tujuannya yaitu tanaman yang dapat menampung dan mempertahankan air, yang cocok dengan kondisi air dan lahan yang telah terdegradasi atau metoda yang tepat untuk menumbuhkan tanaman tersebut.
Tanaman unggulan di kelompokkan, di data daya serap, waktu tumbuh dan seterusnya yang akan sangat berguna kelak. Namun yang sering dilupakan adalah tanaman di sepanjang tepi kanal perlu dikembangkan agar terhindar dari erosi dan mempertahankan kondisi karakteristik tanah tersebut yang berubah akibat penggalian kanal.

Pendataan yang dilakukan, dalam skala laboratorium dapat menjadi data dalam rangka memodelkan dengan matematis, sebelum diterapkan dalam skala yang besar.
Pendekatan modeling matematis sangat membantu dalam pencapaian sebuah proyek karena sedemikan banyaknya parameter-parameter yang terlibat dalam sebuah proses.
Yang menjadi pertanyaan besarnya; jenis tanaman apa yang dapat bertahan, kemudian menetralisir FeS2 dan tetap dalam kondisi basah? Ini merupakan tantangan yang sangat menarik dan diperlukan usaha yang serius—tidak seperti membalikkan telapak tangan—dikarenakan targetnya mengembalikan yang kemudian melestarikan alam.
Sebagai catatan. Pengembangan fitoremediasi ini, selain biaya operasional yang dapat dikatakan murah, juga jika diteliti dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lokal,  dapat bernilai ekonomis.
Sebagai contoh, dengan menaman melaleuca atau kayu gelam yang saat ini dipercaya tahan dan dapat menetralisir area yang memiliki tingkat keasaman tinggi dan ikut andil dalam menetralisir pirit, selain baik bagi ekosistem dan lingkungan sekitar, juga kayunya memiliki nilai jual.*
*) Prof. Dr. Ir. Wahyu Prizuardi, MCE, MSE, anggota Kelompok Ahli Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumsel. E-mail: wahyuprizuardi@gmail.com