Artikel dibawah ini diposting dari koran tempo, saat
beliau memimpin, menjabat sebagai Ketua MPR.
-------------
Ia menyemir sepatu sendiri.
Koran Tempo Ia memulai hari dengan bersujud. Bersarung
cokelat kotak-kotak, baju koko putih, dan peci hitam, Hidayat Nur Wahid, 48
tahun, ditemani putra bungsunya, Hubaib Shidiq, 9 tahun, keluar dari kamar
tidur menuju musala di samping kanan rumah dinasnya. Di musala berukuran 3 x 6
meter itu telah menunggu dua staf pribadi Hidayat yang juga akan salat subuh
bersama, pukul 04.45 WIB Rabu lalu.
Pukul 05.10, seusai salat subuh, Hidayat
dan Hubaib beranjak ke lantai 2 rumahnya.
Di bangunan utama rumah dinas Ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat itu terdapat satu kamar tidur utama dan dua
kamar tidur anak. Di depan ketiga kamar itu ada ruang berukuran 3 x 4 meter
untuk ruang keluarga. Selama 15 menit Hidayat dan Hubaib melantunkan ayat-ayat
suci Al-Quran di situ.
Sejak Kastian Indriawati, 45 tahun, istrinya,
meninggal pada 22 Januari lalu, Hidayat menjadi orang tua tunggal bagi Inayah
Dzil Izzati (kelas V Pesantren Gontor), Ruzaina (kelas III SMP Pesantren Anyer,
Banten), AllaĆ¢ 'Khoiri (kelas I Pesantren Gontor), dan Hubaib Shidiq (kelas IV
sekolah dasar di Pondok Gede, Bekasi). Di tengah kesibukannya sebagai Ketua
MPR, guru, dan anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat
berusaha menyempatkan diri menyiapkan keperluan sekolah Hubaib, satu-satunya
anak yang tinggal bersamanya.
Pukul 05.55, Hidayat melepas Hubaib ke sekolah,
diantar sopir keluarga mengendarai mobil pribadi Innova warna hitam. Sejak
istrinya tiada, Hidayat ingin selalu melepas, nguntapke, Hubaib berangkat
sekolah.
Pukul 06.00, berkaus putih, celana olahraga panjang hitam, dan
sepatu putih, Hidayat menuju lapangan bulu tangkis yang jaraknya sekitar 200
meter dari rumah dinasnya menggunakan mobil pribadi Toyota Kijang LGX warna
biru.
Bersama staf pribadinya dan beberapa staf pribadi menteri di kompleks
Widya Candra, pagi itu Hidayat main empat set langsung dengan dua kali
istirahat masing-masing lima menit.
Hidayat selalu bermain cantik di tiap
set. Smash dan permainan net menunjukkan kepiawaiannya bermain tepok bulu.
Walhasil, pria kelahiran Klaten ini selalu memenangi pertandingan.
Bulu
tangkis adalah hobinya selain sepak bola. Minimal tiap Selasa dan Rabu dia
selalu menyempatkan diri memukul shuttle *****. Dia suka badminton sejak
remaja.
Di samping rumah orang tuanya di Kadipaten Lor RT 03 RW 08, Kebondalem
Kidul, Prambanan, Klaten, ada lapangan badminton yang biasa dipakai keluarga
dan warga sekitarnya.
Kebiasaan itu diteruskan Hidayat saat 13 tahun belajar
di Madinah, Arab Saudi. Bersama teman-teman pelajar dari Indonesia dia membuat
lapangan bulu tangkis di samping kontrakan.
Pukul 07.50, Hidayat menyudahi
badminton. Menenteng tas raket, ia berjalan kaki menuju rumah dinasnya.
Sesampai di rumah, Hidayat meminta izin kepada Tempo membersihkan diri dan
bersiap-siap berangkat ke kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera
di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Dua puluh lima menit kemudian Hidayat
ke lantai 2 menuju meja makan yang letaknya di bawah kamar tidur utama. Ruang
makan menyatu dengan ruang keluarga, bersebelahan dengan ruang tamu dan ruang
rapat.
Seperti di ruangan lainnya, di ruangan seukuran lapangan bulu tangkis
ini tidak ada aksesori yang tergolong mewah. Hanya ada televisi 21 inci dan
akuarium berukuran 1 x 0,5 meter yang dihuni seekor ikan arwana. Di dinding
tergantung satu lukisan bunga, foto Hidayat bersama para pemimpin MPR, serta
foto-foto mendiang istrinya.
Menu sarapan kali itu nasi uduk, kering tempe,
ayam dan telur goreng, sambal, dan kerupuk. Buahnya jeruk dan lengkeng,
minumannya jus jambu dan air mineral. Tapi Hidayat hanya mengambil kering
tempe, ayam goreng, sambal, dan kerupuk sebagai teman nasi uduk.
Hidayat
agaknya penggemar kerupuk. Sekali makan, lebih dari tiga kali ia merogoh kaleng
krupuk dari plastik itu. Ia mengaku tidak punya pantangan jenis makanan
tertentu. Tapi masakan tradisional Jawa, seperti pecel, botok, sambal goreng,
sayur lodeh, dan tentu saja kerupuk, paling ia gemari.
Untuk bekerja hari itu
Hidayat memilih kemeja batik lengan panjang biru dengan motif kawung putih dan
celana hitam. Hidayat jarang mengenakan jas. Dia lebih sering mengenakan batik,
kecuali untuk acara kenegaraan yang mewajibkan jas.
Hidayat mengaku tak punya
merek pakaian favorit. Istrinyalah yang biasanya menyediakan pakaiannya. Batik
yang ia kenakan hari itu, misalnya, bahannya dibelikan Kastian dan dijahit di
Pondok Gede, dekat rumah pribadinya.
Mendiang Kastian pula yang membelikan
jam tangan Tissot yang dikenakan Hidayat, juga telepon seluler Nokia--bukan
Communicator. Kastian membelikannya saat berhaji, beberapa hari sebelum
meninggal. "Ini kenang-kenangan terakhir almarhumah (istri saya)."
Pukul
09.10, Hidayat bersiap ke kantor PKS.
Tanpa istrinya, kini Hidayat menyiapkan
sendiri semua keperluannya. Memilih baju dan celana sampai menyemir sepatu.
Sepatu yang dikenakannya hari itu sepatu Bata hitam yang terletak di samping
tangga menuju lantai 2. Sepatu itu sudah tak mengkilap sehingga Hidayat perlu
menyemirnya dulu. Ia tidak banyak memiliki koleksi sepatu atau sandal.
Setelah
bersepatu, Hidayat memeriksa semua lampu ruangan. Lampu yang tidak dipakai
dimatikannya.
Pukul 09.25, Hidayat masuk ke mobil Toyota Kijang LGX warna
biru menuju kantor DPP PKS.
Rencananya, pukul 10.00 akan ada deklarasi
pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Karena untuk kepentingan
partai, Hidayat tak menggunakan Camry, mobil dinas Ketua MPR. Hidayat duduk di
kursi belakang. Di depan ada sopir dan ajudannya.
Meski pejabat negara,
Hidayat jarang dikawal dan kerap bepergian tanpa voorrijder. Ia merasa aman dan
nyaman tanpa mereka karena merasa tak punya musuh, sehingga tidak khawatir
keamanannya terancam.
Tapi, tanpa voorrijder, ditambah lalu lintas yang kerap
macet, perjalanannya jadi lebih lama. Dari Widya Candra menuju Mampang Prapatan
pagi itu perlu 30 menit. Di perjalanan, Hidayat sempat menunjukkan tukang
potong rambut langganannya. Letaknya di deretan warung Padang dan warung Tegal
di pinggir Jalan Mampang Prapatan Raya.
Sebulan sekali dia potong rambut di
situ. "Ongkosnya Rp 9.000 sekali cukur."
Pukul 10.00, Hidayat tiba
di kantor PKS. Deklarasi ditunda karena Presiden PKS Tifatul Sembiring
dipastikan datang pukul 10.30. Di situ Hidayat bertemu dengan Ketua Majelis
Syura Hilmi Aminuddin, Ketua Dewan Syariah Surahman, serta pengurus PKS Jawa
Barat.
Hidayat belum pernah belajar politik secara formal. Tapi ia lahir dari
keluarga aktivis. Kakeknya tokoh Muhammadiyah dan Masyumi di Prambanan, Jawa
Tengah. Ibunya aktivis Aisyiyah--organisasi perempuan Muhammadiyah. Dan
ayahnya, meski berlatar belakang Nahdlatul Ulama, menjadi pengurus
Muhammadiyah. Kastian juga penggiat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Hidayat
menimba ilmu berorganisasi di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) cabang
Madinah. PPI Madinah adalah salah satu organisasi yang menolak penerapan Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi organisasi di masa Orde Baru. Beberapa kali
petugas kedutaan dan menteri kabinet Soeharto membujuk agar PPI Madinah
mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, tapi tak mempan.
Hidayat
kembali ke Indonesia pada 1993 dan mengajar di Institut Agama Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang. Ketika reformasi bergulir,
bersama-sama aktivis muslim ia mendirikan Partai Keadilan. Kini, setelah
berganti menjadi Partai Keadilan Sejahtera, partai yang semula hanya menerima
anggota dari kalangan Islam itu mulai membuka diri untuk nonmuslim.
Tapi
rekrutmen partainya, kata Hidayat, tetap taat pada jenjang pengkaderan. Untuk
menentukan calon di parlemen, PKS akan melihat siapa yang akan diwakili calon
itu. Jika penduduk yang akan diwakili mayoritas selain Islam, wakilnya bisa
saja dari nonmuslim juga. Hidayat hanya 20 menit berada di kantor PKS. Ia
buru-buru menuju gedung MPR/DPR untuk menerima delegasi dari PPI.
Pukul
11.00, Hidayat tiba di gedung MPR/DPR. Tapi tamu yang ditunggunya dari PPI
batal datang.
Hidayat meneruskan pekerjaan dengan memeriksa beberapa dokumen
dan menekennya.
Pukul 13.00, Hidayat menerima delegasi dari Pacific Countries
Social and Economic Solidarity Association Turki. Mereka mencari cara
mempererat hubungan Indonesia dengan Turki.
Pukul 14.00, Hidayat menerima
kunjungan rombongan Presiden National Endowment for Democracy Carl Gersham.
Carl meminta Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi menularkan
pengalamannya ke negara-negara di Timur Tengah. Hidayat menolak. Alasannya,
"Rusaknya demokrasi di Timur Tengah karena sikap politik Amerika Serikat
yang berstandar ganda."
Ia mencontohkan pemilu di Palestina.
Khalayak,
kata Hidayat, tahu pemilu Palestina sangat demokratis. Tapi karena rayuan
Israel, negara-negara Barat termasuk Amerika tidak mengakui hasil pemilu itu.
Menurut dia, Timur Tengah akan demokratis jika Amerika demokratis. "Jadi
jangan Indonesia diminta mengajarkan demokrasi ke Timur Tengah. Mereka (Timur
Tengah) melihat perilaku Amerika sendiri."
Meski banyak menerima tamu,
Hidayat selalu tepat waktu untuk salat. Begitu azan berkumandang, dia bergegas
berwudu. Pukul 15.25, Hidayat salat asar. Di ruangannya tersedia perlengkapan
salat, termasuk peci yang bagian atasnya sedikit robek.
Pukul 15.40, Hidayat
bersiap-siap kembali ke rumah dinasnya karena pukul 16.30 ia akan menerima
Hanung Bramantyo, sutradara film Ayat-ayat Cinta yang lagi populer.
Pukul
15.45, Hidayat memasuki Camry, mobil dinasnya. Kali ini memang untuk
kepentingan tugasnya sebagai Ketua MPR.
Tapi tetap tanpa voorrijder. Hidayat
jarang dikawal voorrijder kecuali kalau ada acara yang mendesak segera
didatangi, tak boleh telat, dan lalu lintas macet.
Untuk acara yang bisa
diatur jadwalnya dan tidak mendadak, dia pergi tanpa voorrijder. "Semua
tergantung bagaimana kita mengatur waktu saja." Mobil Camry dengan pelat
bernomor RI-5 itu pun mengarungi samudra kemacetan bersama mobil-mobil lainnya
di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Pukul 16.25, Hidayat sampai di rumah
dinasnya. Sepuluh menit berselang, tamu yang ditunggu, Hanung, datang. Hidayat
menyambut Hanung di ruang tamu, mengenakan baju putih bermotif kotak-kotak
pendek dan celana hitam. Hanung meminta pendapat Hidayat tentang film Ayat-ayat
Cinta sekaligus saran untuk film Ahmad Dahlan--pendiri Muhammadiyah--yang akan
dibikinnya.
Meski hanya tiga kali menonton film seumur hidupnya, Hidayat
mengkritik beberapa lafal bahasa Arab dalam adegan Ayat-ayat Cinta yang
grammar-nya tidak benar. Lokasi shooting yang tidak sesuai dengan kondisi Mesir
dikritik.
Hidayat juga mempertanyakan mengapa Hanung menonjolkan sisi poligami
dalam film itu, padahal dalam novelnya tidak.
Soal rencana membuat film Ahmad
Dahlan, Hidayat menyarankan agar dalam film itu juga disinggung soal K.H.
Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama. Menurut Hidayat, keduanya teman yang
akrab dan satu guru saat menempuh pendidikan di Madinah.
Kiai Hasyim dan
Ahmad Dahlan, kata Hidayat, satu kapal dalam perjalanan dari Pulau Jawa ke Arab
Saudi. Meski berbeda pandangan tentang beberapa hal soal khilafiah, mereka
berdua saling menghargai. Hidayat menerima Hanung selama dua jam, hingga pukul
18.35.
Pukul 18.45, Hidayat berangkat ke Warung Buncit untuk memenuhi
undangan peringatan Maulid Nabi di Pesantren Assalafi Daarul Islah, Jalan
Buncit Raya. Kali ini dia mengenakan baju koko putih dan celana hitam. Untuk
keperluan ini dia menggunakan mobil pribadi Toyota Kijang LGX biru, tanpa
pengawal dan voorrijder.
Akibatnya, dia terjebak kemacetan di Jalan Gatot
Subroto, Mampang, dan Buncit Raya. Sejam lebih bertarung dengan kemacetan,
Hidayat tiba di lokasi pukul 20.05. Di acara itu Hidayat sempat berceramah
selama 30 menit.
Pukul 21.35, Hidayat kembali ke rumah dinasnya. Perjalanan
lancar karena sudah malam. Dua puluh menit kemudian Hidayat sampai di rumah
dinasnya. Sebelum tidur pada 23.00, Hidayat membaca semua surat yang masuk dan
menutup hari dengan membaca Al-Quran. (Koran Tempo)
No comments:
Post a Comment